Pendidikan di Negeri Luka: Sistem yang Membesarkan Generasi Bingung

Pendidikan di Negeri Luka

Pendidikan di Negeri – Pendidikan di Indonesia terlalu sering dipuja sebagai penyelamat nasib, jalan emas menuju masa depan, dan alat pengubah kasta sosial. Tapi, mari buka mata dan berhenti terbuai narasi usang itu. Sekolah hari ini lebih mirip pabrik seragam: anak-anak dijejali kurikulum padat, hafalan yang tak membekas, dan sistem evaluasi yang menumpulkan rasa ingin tahu. Mereka bukan lagi manusia merdeka, melainkan produk standar yang siap di uji oleh soal-soal pilihan ganda.

Masuk pukul tujuh pagi dengan mata sembab, pulang menjelang sore dengan otak penuh rumus dan doktrin. Di mana ruang untuk bertanya? Di mana tempat bagi kegagalan untuk di hargai sebagai bagian dari proses belajar? Tidak ada. Yang ada hanyalah ketakutan: takut nilai jelek, takut di marahi orang tua, takut gagal ujian nasional. Sekolah bukan lagi tempat belajar, tapi medan perang psikis yang slot resmi jadi institusi pembelajaran.

Guru-Guru yang Mati Rasa

Guru seharusnya jadi pelita di tengah gelapnya ketidaktahuan. Tapi nyalanya mulai redup, bahkan padam, bukan karena tak mampu, tapi karena sistem mencekik semangat mereka. Di bayar seadanya, di bebani administrasi yang absurd, dan di tuntut mengajar dengan cara-cara usang. Apa jadinya jika guru sendiri tak punya ruang untuk tumbuh?

Lebih menyakitkan lagi, banyak guru terjebak dalam zona nyaman—mengajar sekadar rutinitas, bukan panggilan jiwa. Mereka lupa bahwa tugasnya bukan sekadar menyampaikan materi, tapi menghidupkan rasa penasaran murid, membakar semangat berpikir, dan menantang setiap batas logika. Tapi bagaimana mungkin bisa seperti itu jika energi mereka habis untuk urusan athena168?

Pendidikan Tinggi: Panggung Elitisme Berbiaya Mahal

Melangkah ke perguruan tinggi, kita di hadapkan pada ironi lain: pendidikan tinggi yang semakin eksklusif. Uang masuk, biaya semester, dan segala macam pungutan membuat kampus jadi arena mewah yang hanya bisa di masuki mereka yang punya kuasa finansial. Lalu di mana keadilan pendidikan? Apakah kecerdasan harus bersyarat dompet?

Lebih parah lagi, ijazah justru di perlakukan sebagai tiket utama mencari kerja. Padahal, berapa banyak sarjana yang lulus tapi gagap menghadapi dunia nyata? Mereka ahli teori tapi lumpuh praktik. Mereka tahu definisi, tapi tak tahu aplikasi. Sistem ini lebih fokus mencetak pelamar kerja, bukan pencipta lapangan kerja. Kreativitas di matikan, inovasi di bunuh, dan mahasiswa hanya di ajarkan untuk tunduk pada sistem, bukan menantangnya.

Kurangnya Arah, Hilangnya Tujuan

Apa sebenarnya tujuan pendidikan di negeri ini? Apakah hanya sekadar mengejar angka statistik: angka melek huruf, angka kelulusan, angka partisipasi? Semua itu indah di atas kertas, tapi hampa di kenyataan. Pendidikan seharusnya membentuk manusia utuh—yang kritis berpikir, berani berbeda, dan peduli pada sesama. Namun yang tercipta justru sebaliknya: generasi yang bingung, cemas, dan kehilangan identitas.

Sungguh ironis, negeri yang katanya menjunjung tinggi ilmu justru membiarkan sistem pendidikannya berjalan seperti robot rusak. Tak ada pembaruan kurikulum yang berani. Tak ada keberpihakan pada anak-anak marginal. Engga ada keberanian menggugat akar permasalahan. Yang ada hanyalah tambal sulam, solusi instan, dan kebijakan setengah hati.

Anak-Anak yang Diperbudak Mimpi Palsu

Anak-anak Indonesia tumbuh dengan mimpi besar, tapi sering kali mimpi itu di bunuh oleh kenyataan: sekolah yang membosankan, guru yang tak mendengarkan, sistem yang tak memahami. Mereka di jejali ambisi orang tua, tekanan sosial, dan ekspektasi pemerintah. Akhirnya, mereka tak pernah benar-benar tahu siapa mereka dan apa yang mereka inginkan.

Mereka di suruh pintar, tapi tak di ajarkan untuk bijak. Mereka di minta patuh, tapi tak di beri ruang untuk memilih. Di harapkan sukses, tapi tak di beri kesempatan untuk gagal. Beginikah cara kita mendidik manusia? Atau kita hanya menciptakan robot yang siap bekerja tapi lupa caranya bermimpi?

Pendidikan kita bukan sedang jalan di tempat—ia sedang melaju mundur dalam topeng kemajuan. Dan jika tak ada yang berani mengguncang sistem ini, maka jangan heran jika kelak kita hanya punya generasi yang bisa membaca, tapi tak tahu apa yang layak di perjuangkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *