Pilu Nera – Di tengah hiruk-pikuk remaja SMA yang sibuk dengan masa pubertas dan pencarian jati diri, Nera justru menjalani hidup yang jauh dari kata biasa. Gadis 17 tahun itu masih tampak seperti anak kecil berusia 9 tahun. Tubuhnya mungil, tinggi badannya tak lebih dari 125 cm, dan wajahnya tak menunjukkan tanda-tanda pubertas. Bukan karena pola makan, bukan pula karena malas berolahraga, tapi karena tubuhnya menyimpan kelainan yang tak banyak orang pahami—gangguan hormon pertumbuhan.
Nera mengidap defisiensi hormon pertumbuhan (Growth Hormone Deficiency/GHD), sebuah kondisi langka yang membuat tubuhnya tidak memproduksi hormon pertumbuhan secara normal. Akibatnya, perkembangan fisik Nera terhenti sejak usia dini. Suara masih seperti anak-anak, tubuh masih ringan seperti bocah, namun mental dan pikirannya telah berkembang selayaknya gadis remaja pada umumnya.
Dijadikan Bahan Olok-olok, Tapi Nera Tak Gentar
Hidup sebagai Nera bukan perkara mudah. Di sekolah, ia sering menjadi bahan candaan—bahkan guru pun sempat mengira ia adalah murid SD yang nyasar ke kelas atas. Teman-temannya, yang sudah mulai berbicara soal pacaran dan masa depan kuliah, kerap memandangnya sebelah mata.
“Awalnya aku sempat down banget. Aku ngerasa nggak normal, kayak hidup di tubuh yang salah,” ujar Nera dengan nada getir namun tegas. Ia mengaku sempat mengurung diri berhari-hari, menolak bercermin, bahkan enggan pergi ke sekolah. Namun, di balik keputusasaan itu, Nera pelan-pelan menemukan kekuatan dari slot server kamboja dirinya sendiri.
Ia mulai membaca banyak buku, memperdalam hobinya dalam menggambar, dan menemukan kenyamanan di dunia seni. Dari sinilah ia mulai bangkit—menerima dirinya apa adanya dan menjadikan kondisinya sebagai ciri khas, bukan aib.
Perjuangan Orangtua yang Tak Kenal Lelah
Kisah pilu Nera tak lepas dari perjuangan luar biasa sang ibu. Sejak Nera berusia 5 tahun, ibunya sudah mulai curiga karena pertumbuhan tinggi badannya tidak menunjukkan perubahan signifikan. Ketika anak-anak sebayanya tumbuh pesat, Nera justru stagnan. Sayangnya, diagnosis medis yang tepat baru datang setelah usia Nera menginjak 10 tahun.
“Dokternya bilang Nera mengalami kekurangan hormon pertumbuhan. Kami syok. Karena terapi hormon itu butuh biaya sangat besar, bisa jutaan rupiah per suntikan,” ungkap ibunya. Tak ingin menyerah, mereka pun banting tulang. Sang ayah mengambil kerja lembur, ibunya berjualan makanan dari rumah. Semua demi memberikan suntikan hormon yang Nera butuhkan—walau hasilnya tak secepat yang diharapkan.
Dunia Medis Masih Minim Akses
Fakta yang lebih menyakitkan, kondisi seperti Nera ternyata masih sering terabaikan di Indonesia. Banyak keluarga yang tidak sadar bahwa anak mereka mengalami defisiensi hormon pertumbuhan, karena informasi yang minim serta biaya diagnosis yang mahal. Padahal, jika terdeteksi lebih awal, peluang perbaikan kondisi tubuh bisa lebih besar.
Nera sendiri sudah menjalani terapi hormon selama dua tahun terakhir. Namun karena keterbatasan ekonomi, intensitas terapinya tidak selalu konsisten. Beberapa kali harus jeda karena stok obat tak ada, atau karena biaya rumah tangga harus diutamakan. Hal ini membuat perkembangan fisik Nera berjalan slot77 dan tak bisa menyamai rekan-rekan seusianya.
Menjadi Simbol Perjuangan Remaja dengan Kelainan Hormonal
Meski tubuhnya kecil, semangat Nera tak bisa diremehkan. Ia kini aktif di media sosial, membagikan pengalamannya hidup dengan GHD. Lewat akun TikTok dan Instagram, ia mengedukasi masyarakat soal pentingnya memahami kelainan hormon sejak dini, sekaligus mematahkan stigma bahwa orang bertubuh kecil adalah “abnormal”.
“Aku mau jadi suara buat anak-anak kayak aku. Biar nggak ada lagi yang ngerasa sendiri atau malu sama kondisi tubuhnya,” ujar Nera dengan sorot mata penuh keberanian. Di tengah segala keterbatasan, Nera tampil sebagai bukti bahwa ukuran tubuh tak menentukan besarnya mimpi dan kekuatan hati seseorang.